28 July 2007

Jangan Sampai Terjadi Lagi!

Read More...

14 July 2007

Uncovered syndicate of human trafficking in Medan, N. Sumatra

A syndicate of human traffickers in Jember district of East Java, Indonesia has been uncovered. The 18-year Samiadi Ningsih, a would-be migrant workers, originating from Puger Kulon village at Puger subdistrict in Jember reported her bad fate as she fled away from being locked up for months at the pre-employment waiting place owned by PT Aula Graha addressed at Jalan Pintu Air, gang Ternak, Medan, North Sumatra.

She said she fled the premise because she ‘could no longer endure tortures she experienced daily there.’

Ningsih said she was transported by a women only she named as Susi, a resident in the neighborhood of Tawang Alun bus station in Jember town.

“It is about each five days that Mrs. Susi deploys a group of would-be migrant workers from Jember carried by bus owned by the transportation company called ALS,” she said.

She said along with her were other two would-be migrant workers departed from Jember to Medan.

Before leaving Jember, Ningsih said her name and address were forged by Haj Ahmad, a resident of Arjasa subdistrict in Jember.

Report says Haj Ahmad is at the moment detained by the East Java police. But local migrant association of GBMI Jember claimed that his wife continued the questioned business in the district.

Ningsih said that 'her name was turned into Karina, aged 26 years old and originates from Arjasa subdistrict.'

She also added that among those involved in the business were ‘two formally clothed officers like those worn by the military’.

‘I do not want that Mrs. Susi sends other girls from Jember. I do not want more victims,” she said.

Mohammad Cholily of the local migrant association of GBMI Jember that represents Ningsih said it planned to file a report the crime to police and the district government’s manpower office.

Read More...

13 July 2007

Suara Hati Ibu

Oleh Hilmi

Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk menelantarkan ibu. Ibu akan merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh tahun. Minggu depan. Namun, di tengah kebahagiaannya itu, ibu terancam tidak tinggal bersamaku lagi. Soalnya, keempat saudaraku meminta supaya aku menitipkan ibu di panti jompo yang letaknya tidak jauh dari rumahku.

Aku tidak habis pikir, kenapa saudara-saudara tua-ku mempunyai keinginan seperti itu. Apakah mereka memang ingin aku tidak terlalu repot untuk mengurusi ibu, karena aku memiliki tanggung jawab sendiri, tanggung jawab kepada keluarga. Di rumah yang lumayan besar ini, aku tinggal bersama tiga anakku, suami tercinta yang sangat membutuhkan perhatian lebih dariku, dan ibuku yang sudah membesarkanku hingga seperti sekarang ini. Mungkin, karena aku ini anak bungsu.

Memang, aku sering kelelahan, ketika aku mengurus ibu dan keluargaku secara bersamaan. Terkadang, aku juga sering tak sempat mengurus anak-anakku, ketika ibu menginginkan perhatian lebih dariku.

Akhir-akhir ini, ibu memang ingin sekali dekat denganku. Ibu sering memintaku untuk sekedar duduk di sampingnya, dan menemaminya ngobrol-ngobrol ringan. Terkadang ibu menanyakan kondisi ketiga cucunya, bagaimana sekolahnya, bagaimana kondisi kesehatannya dan bermacam-macam pertanyaan lain. Sering juga ibu menanyakan kondisi suamiku.

Suatu malam, Ibu pernah bertanya padaku, "Nak, kamu pernah merasa keberatan jika ibu tinggal di sini. Jika kamu merasa begitu, biar ibu tinggal di tempat lain saja. Ibu tidak ingin merepotkan kamu. Nak, ibu tidak ingin perhatian dan kasih sayangmu, yang seharusnya untuk keluargamu, tapi terbagi untuk merawat ibu." Mendengar ucapan ibu seperti itu hatiku miris sekali. Aku merasa sudah bersalah. Aku merasa sangat berdosa karena ibu yang sudah renta itu masih berpikir bahwa ia menjadi benalu bagi keluargaku.

Ibu sering menyanggah bila aku menyanggah perkataannya itu. "Tidak Bu. “Ibu di sini tidak membuatku repot. Ini semua kulakukan sebagai rasa terima kasihku karena ibu telah merawatku hingga menjadi seperti sekarang ini”."

Sanggahan ibu, malah membuatku semakin merasa kasihan kepada ibu, sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ibu seharusnya menikmati sisa usianya, ibu tidak perlu pusing-pusing memikirkan kondisinya.

Suatu malam, aku pernah menanyakan kepada bapaknya anak-anak. Apakah kehadiran orangtuaku yang sudah renta itu mengurangi keharmonisan rumah tangga ini? Apakah kewajibanku sebagai seorang ibu rumah tangga, yang harus merawat dan menyayangi suami dan anak-anak terlihat tidak penuh.

Dengan bijak suamiku menjawab, "Tidak bu. Kasih sayang yang aku rasakan darimu sudah lebih dari cukup, apalagi ketika aku lihat kamu begitu rajin dan tulus merawat ibu. Meskipun aku hanya sebagai menantu, aku juga mempunyai kewajiban untuk merawat ibu."

Setiap pagi, aku selalu menatap wajah ibu dari ruang belakang, kulihat mata ibu selalu mengiringi langkah ceria anak-anakku berangkat sekolah. Mungkin ibu teringat waktu aku masih kecil dulu. Tidak terasa, tetesan air mata keluar dari mataku. Air mata ini merupakan do'a kepada Tuhan.

"Tuhan, jangan terlalu cepat Engkau mengambil ibu dariku. Sisakan waktu untukku supaya bisa membalas jasa-jasanya selama ini."

Menyambut sang surya tenggelam, sayup-sayup gema takbir mulai terdengar dari berbagai penjuru desa. Di ruang makan anak-anak sedang asyik menyantap hidangan. Mereka masyuk bercanda dengan ayahnya. Sementara itu, aku tidak bisa menemani mereka makan. Karena pada waktu yang bersamaan, aku sedang membersihkan perabotan rumah untuk menyambut kakak-kakakku besok.

Tidak terasa sebulan penuh keluarga besar ini menjalani ibadah puasa. Tidak terasa pula sudah sepuluh tahun ibu tinggal bersamaku di rumah ini. Semenjak ayahku meninggal dunia sepuluh tahun silam, tidak ada lagi yang merawat ibu. Sebagai anak bungsu aku mempunyai tanggung jawab untuk merawatnya.

Setiap gema takbir berkumandang, ibu selalu duduk terdiam sendiri di teras belakang rumah. Melihat kebiasaan ibu yang seperti itu, aku merasa ada suatu hal yang disembunyikan ibu dariku. Sebenarnya setiap ibu merenung sendiri di malam Idul Fitri, ingin sekali aku mengetahui apa sebenarnya yang sedang ada dipikirkannya.

Semenjak ditinggal pergi ayah, perilaku ibu kepadaku berubah. Dulu, ibu sering berkata padaku, “"Nak, ibu lebih senang jika kamu anggap sebagai seorang teman. Ibu lebih senang jika kamu merasa bebas menceritakan sesuatu. Jadi jangan kamu pendam masalah yang sedang melandamu sendiri”."

Sekarang, meskipun ibu selalu ingin aku berada di sampingnya, aku tetap merasa ada suatu hal yang disembunyikan kepadaku.

Untuk malam Idul Fitri kali ini aku tidak ingin melihat ibu merasakan masalahnya sendirian. Aku ingin sekali membantu ibu mengatasi masalah yang dihadapi ibu. Aku berkata pada diriku sendiri, aku harus menanyakan masalah apa yang sedang ibu hadapi. Aku merasa sangat kasihan melihat kondisi ibu yang seperti itu.

“"Bu, setiap tahun aku memperhatikan ibu, kenapa setiap gema takbir berkumandang, ibu selalu duduk termenung di teras ini. Apakah ibu mempunyai masalah?”"

Aku memberanikan diri bertanya seperti itu, karena aku benar-benar tidak tahan melihat ibu selalu memikirkan sesuatu. Aku takut ini akan mempengaruhi kondisi kesehatan ibu.

"Tidak ada apa-apa, nak, aku tidak memikirkan masalah apa pun. Aku duduk di sini hanya merenungkan kondisiku yang sudah renta ini. Apa dosa-dosaku nanti akan diampuni jika aku nanti meninggal kalian semua”."

“"Jangan, jangan berkata seperti itu bu, tidak baik berkata seperti itu”."

Aku mendadak merinding mendengar jawaban ibu yang seperti itu. “

"Ibu dulu sering berkata, di antara kita tidak boleh menyembunyikan masalah masing-masing. Kita harus berbagi kan? ibu kan yang bilang begitu? Tapi kenapa sekarang ibu seperti ada yang disembunyikan dariku”." Aku mencoba memaksa ibu lagi.

“"Nak, terima kasih selama duapuluh tahun ini kamu telah merawatku. Benar setiap gema takbir berkumandang, ada suatu masalah yang mengganggu pikiran ibu. Tetapi biarlah ibu sendiri yang merasakannya. Ibu tidak ingin merepotkan kamu terus. Kamu sekarang sudah mempunyai tanggungjawab untuk mengurus keluargamu. Memang benar apa yang dikatakan saudaramu. Lebih baik ibu tinggal di panti saja, biar ibu tidak menjadi beban di keluarga ini”."

Mendengar perkataan ibu seperti itu, dengan spontan tanganku langsung memeluk hangat tubuh ibu.

“"Kenapa ibu berpikir seperti itu. Ibu jangan berpikir bahwa ibu menjadi benalu di keluarga ini. Lihatlah bu .. Selama ini anak-anakku sangat bahagia tinggal bersama neneknya. Di sini tidak ada yang merasa terbebani. Jadi aku harap ibu jangan lagi memikirkan hal ini. Jangan hiraukan perkataan kakak-kakakku. Aku ingin sekali merawat ibu, melihat ibu bahagia. Pokoknya ibu tetap tinggal di sini ya?”"

Tanpa menjawab pertanyaanku, ibu langsung mengayunkan langkah menuju ke kamarnya.

Dengan langkah yang masih tegap, aku melihat ada semangat yang besar di tengah usia senjanya.**

Read More...

12 July 2007

Hearing Komisi D DPRD Jember dengan Keluarga dan Korban Trafiking

Akhirnya, setelah sekian lama, perjuangan para mantan dan keluarga buruh migran didengarkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Daerah di Jember, Jawa Timur. Ditemui di ruang Komisi D, Rabu (4/7), para keluarga dan korban mengungkapkan berbagai kasus yang menimpa sanak famili dan dirinya sendiri, selama berada di tempat mereka bekerja.

Diawali dengan pengaduan Satonah, ibu Siti Khotijah, yang mengungkapkan nasib anaknya yang sudah 14 tahun tidak ada kabar. Dengan cucuran air mata, bu Satonah meminta kepada pihak terkait, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) setempat, untuk segera memulangkan Siti Khotijah. Setelah itu bergantian sampai seluruh keluarga dan korban mengutarakan pengaduannya. Sampai yang terakhir pengaduan dari Ningsih, warga Puger, Jember. Ia sempat melarikan diri dari PT Aula Graha karena tidak betah terhadap perlakuan yang ia terima selama berada di PT tersebut.

Menanggapi pengaduan yang cukup banyak, Ketua Komisi D, Miftahul Ulum, meminta kepada pihak Disnakertrans untuk segera mengambil langkah cerdas guna meminimalisir korban trafiking orang yang terus berlangsung di Jember.

"Meskipun di Jember masih belun ada peraturan daerah, saya harap itu tidak menjadi sebuah alasan bagi Disnakertrans berpangku tangan mengenai masalah TKI”," pinta Miftahul Ulum kepada Disnakertrans.

Ulum juga menambahkan, jangan sampai ada suara-suara di luar yang mengatakan Disnakertrans tidak sepakat adanya peraturan daerah.

Sejalan dengan itu, perwakilan lain dari Komisi D, H. Misbah, mengungkapkan bahwa meskipun di Jawa Timur sudah ada peraturan, Disnaker di Jember juga harus memiliki Peraturan Daerah mengenai ke-TKI-an. “

"Sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi warganya. Jika nantinya eksekutif tidak bisa membuat 'perda' (peraturan daerah), Dewan akan menggunakan hak inisiatifnya untuk membuat peraturan daerah, meskipun jalannya tidak pendek”," tambah H. Misbah.

Menyikapi berbagai saran dan keluhan dari Dewan, M. Thamrin, Kepala Disnakertrans Jember, mulai angkat bicara. Thamrin mengutarakan bahwa masalah TKI merupakan masalah yang rumit. “

"Jika ingin disalahkan, yang pantas disalahkan itu saya ataukah Pak SBY”," ungkap Thamrin mengacu pada presiden Republik Indonesia kepada seluruh anggota Dewan dan semua yang hadir dalam audiensi. “

"Di Jember sendiri itu sudah ada satgas, yang terdiri dari kepolisian dan LSM, yang keduanya bisa membantu menangani kasus tenaga kerja asal Jember“," tambah pria kelahiran Madura tersebut.

Sementara itu, M. Cholily, dari Gerakan Buruh Migran Indonesia - Jember, mengutarakan mengenai tindakan Disnakertrans yang telah melegalkan adanya UP3CTKI. Menurutnya, tidak ada landasan hukum yang bisa mengabsahkannya dan Disnkertrans sendiri tidak mempunyai wewenang untuk mengesahkan UP3CTKI. “

"Imbas dari adanya UP3CTKI ini adalah semakin banyaknya korban trafiking dari berbagai desa di Jember."

"Hal ini diperparah dengan tidak optimalnya penyuluhan yang dilakukan Disnakertrans”," tukas Cholily. Ketua GBMI Jember ini hadir di situ untuk mendampingi korban dan keluarga korban dalam menemui anggota Komis D. (tell)

Read More...

11 July 2007

Lagi, TKW Asal Jember Tewas

SUSIANI (31), TKI asal dusun Barat, desa Kalisat, kecamatan Kalisat, kabupaten Jember, tewas di Brunei Darussalam. Sempat dirawat di rumah sakit Brunei Darussalam. Setelah mengalami koma selama 19 hari, Susiani akhirnya meninggal pada hari Selasa, 19 Juni.

“"Dari keterangan via telpon dari saudaranya yang bekerja di Brunei, Susi tewas karena terjatuh dari tangga, setelah ada operasi polisi”," jelas Sugeng, adik korban.

Susiani, ibu satu orang anak ini sudah bekerja di Brunei selama empat tahun. Selama itu pula, ia tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Ia sempat pulang ke Indonesia, tetapi tidak ke Jember, hanya untuk memperpanjang visa kerjanya”, tambah Sugeng.

Untuk kepulangan jenazah Susiani sendiri, keluarga di Jember tidak bisa menanggung biaya pengiriman. Pasalnya pihak Kedutaan Besar RI setempat hanya bisa memulangkan jenazah Susiani sampai Surabaya. Setelah itu biaya ditanggung keluarga sendiri.

Akhirnya, pada tanggal 20 Juni, keluarga yang berada di Pontang, kecamatan Ambulu, Jember, melayangkan surat pernyataan yang isinya merelakan jenazah korban dimakamkan di Brunei, ke nomor fax +673 2 330646, milik KBRI di Brunei Darussalam.

“Keluarga di sini tidak sanggup menanggung biaya kepulangan jenazah Susiani, sehingga pihak keluarga merelakan jenazah dimakamkan di sana.

"Dari pada nantinya terlantar”," tukas Sugeng kepada Migrant Voices.

Sementara itu, M. Cholily, perwakilan Gerakan Buruh Migran Indonesia dari Jember, sangat menyayangkan tindakan keluarga korban, yang telah mengirimkan surat pernyataan. “Dengan adanya surat itu, berarti kasus meninggalnya Susiani sudah ditutup. Akhirnya pihak agency tidak akan bertanggungjawab untuk memulangkan jenazah korban”, terang Cholili. (hilmi)

Read More...

09 July 2007

Selamatkan Mereka

Oleh (tell)
Diilhami oleh kisah nyata calon TKI yang terdampar di Medan

Beberapa bulan terakhir, aku merindukan desiran ombak dan aroma anyir dari bangkai ikan hasil tangkapan nelayan di desaku. Memang benar kata orang, tidak ada penyesalan di depan. Yang ada adalah penyesalan di kemudian hari.

Aku menyesal, karena saat aku ingin berangkat mengais rezeki di negeri orang, aku tidak minta izin kepada kedua orangtua dan keluargaku di rumah. Namun, itu semua kulakukan karena aku ingin membantu ekonomi keluarga.

Maklum, setelah melambungnya harga BBM dan diperparah lagi oleh hasil tangkapan yang tidak menentu, ekonomi kaluargaku mengalami pasang surut. Tepatnya, sering sekali surut, ketimbang pasangnya.

Waktu itu, aku berangkat menuju tanah rantau, dibantu orang yang kukenal, namanya Nasipah. Ia mengaku berasal dari Mlaten. Aku sendiri tidak tahu, Mlaten itu ada di mana. Tetapi aku tidak memedulikan hal itu. Yang kuinginkan, aku segera bekerja dan mendapatkan uang. Uang yang nantinya akan kugunakan untuk menambal surutnya ekonomi keluargaku.

Tekadku sudah bulat, sebulat bola pingpong yang kerap dimainkan kakakku bersama teman-temannya. Selama perjalanan, aku baru sadar, jika perjalanan kali ini adalah perjalanan terberatku selama ini. Aku harus meninggalkan rumah menyeberang lautan, untuk sampai di PJTKI tujuanku. PJTKI yang dikatakan Nasipah siap mengirimku ke luar negeri adalah PT Sontoloyo di Medan.

Asaku untuk mendapatkan ringit sebesar-besarnya mulai menguat saat aku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Medan. Perasaan takut serta cemas yang kubawa selama di perjalanan, mulai memudar. Diganti dengan bayang-bayang lembaran ringgit yang siap aku genggam.


Bangunan megah, dikelilingi dengan pagar yang menjulang tinggi. Itulah gambaran PT Sontoloyo jika dilihat dari depan. Sampai aku memasuki gerbang perusahaan sontoloyo itu, aku belum merasa jika aku sudah jadi korban jual beli manusia. Sebuah bisnis yang belum pernah aku kenal sebelumnya.

Aku baru sadar jika sudah menjadi barang niaga, ketika aku tahu bahwa Nasipah mendapatkan sejumlah uang setiap memberangkatkan orang, termasuk juga aku ke PT Sontoloyo. Ya.. kisaran Rp500.000. Ujung-ujungnya, impian yang aku bawa dari kampung tidak kunjung terwujud. Bahkan bisa jadi mustahil aku dapatkan.

Hari-hariku di Medan penuh dengan cerita-cerita kelam. Mulai dari cacian, pukulan sampai tamparan saban hari mendarat di sekujur tubuhku. Tetapi aku tidak sendirian menjalani penderitaan di PT Sontoloyo. Di sana, teman-temanku juga mengalami hal serupa.

Lama di sana, aku tidak betah. Siksaan yang aku terima semakin lama kian menjadi-jadi. Bahkan, nafasku sempat terhenti sebentar, ketika temanku mengatakan jika ia sudah kecolongan, awalnya aku bingung, apa yang telah hilang darinya. Ternyata temanku itu telah kecolongan keperawanannya, ya, ia habis diperkosa ajudan pemilik PT Sontoloyo.

Aku kumpulkan semua keberanianku untuk keluar dari sana. Aku minta izin sekaligus mencari teman yang berani keluar dari PT Sontoloyo. Namun, semua teman-temanku tidak ada yang berani, mereka malah bersujud di kakiku, memohon jika nantinya aku berhasil keluar, aku disuruh menyelamatkan jiwa mereka, bisa lewat polisi atau stasiun televisi. Yang penting satu keluar dulu, dan yang lainnya keluar berikutnya.

Tanpa pikir panjang, aku memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk kabur. Waktu itu, aku masih ingat, aku memanjat pohon jaran yang tumbuh di belakang rumah. Tinggi pohon itu melebihi tinggi pagar. Jadi aku tidak kesulitan untuk keluar dari pagar. Debaran jantungku meningkat dari biasanya. Aku tidak sampai berpikiran jika nantinya aku ketahuan. Bisa saja aku kehilangan nyawaku andai nanti salah satu penjaga memergokiku saat memanjat pohon jaran.

Pohon dengan diameter kira-kira setengah meter dan dibalut dengan kulit kayu yang sangat kasar membuatku beberapa kali terporosok jatuh. Biar sering jatuh, tapi inilah satu-satunya kesempatanku untuk kabur. Ketahuan mati, hidup di sana lama-lama juga akan mati. Sama-sama mati, mending aku kabur.

Jlukk…aku berhasil turun di luar pagar. Aku langsung melarikan diri, mencari orang yang bisa aku mintai pertolongan. Beberapa lama aku berlari, aku tidak menemukan seorang pun. Tapi aku sempat istirahat di sebuah masjid. Kemudian ada seorang perempuan yang melewati masjid yang kusinggahi. Ia meminta anaknya untuk mengantarku ke lembaga swadaya masyarakat yang bisa menolongku. Sesampainya di lembaga itu, aku akhirnya bisa pulang ke rumah.

Tetapi aku masih belum tenang selama beberapa temanku yang ada di dalam PT Sontoloyo itu belum keluar. Aku minta tolong kepada pihak yang berwenang untuk mengeluarkan mereka. Sudah banyak penderitaan yang mereka terima.

Itulah ceritaku ketika aku berusaha mencari uang, namun ternyata keinginan yang kubilang “mulia” tidak selamanya bermartabat di mata orang lain. Tetapi aku sangat bersyukur, desir ombak yang selama ini menemaniku, mulai dari kecil sampai dewasa, kembali aku rasakan. Serta bau anyir yang kerap dibenci orang, kembali aku rasakan.**

Read More...

Dwi Mardiyah & Ananda ..













Baca kisah tentang Dwi Mardiyah .. di bawah ini. Klik ya ..



Foto ini diambil dari sini.

Read More...

Apa itu "perbudakan" menurut Undang-undang?

Untuk mereka yang belum pernah tahu-menahu tentang apa itu "perbudakan", berikut ini apa yang dinyatakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 324
Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 297
Perdagangan perempuan dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Read More...

08 July 2007

HUTANG UANG BAYAR SAYANG

Saya tidak tahu, apakah masih ada jalan lagi untuk melepaskan jeratan hutang yang melilit keluarga saya? Pertanyaan inilah yang selalu menggema di telinga saya. Pagi, siang, sore dan malam hari saya selalu dihantui oleh tuntutan melunasi hutang.

Permasalahannya sepele. Waktu itu anak bungsu saya, baru naik kelas, dari kelas tiga ke kelas empat SD. Entah siapa yang mengajari, tiba-tiba anak saya minta dibelikan sepeda. Alasannya cukup masuk akal, yaitu jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Dan, semua temannya yang sebelumnya berangkat bersama dengan berjalan kaki menelusuri gang-gang sempit di ujung desa, sekarang sudah beralih. Teman-teman anak saya sudah banyak yang memiliki sepeda.

Saya tidak tega memberitahu kepada anak saya, jika saya tidak punya uang sama sekali untuk membeli barang yang sifatnya menurut saya tidak begitu penting. Maklum sudah dua bulan terakhir, perekonomian keluarga ini saya topang sepenuhnya. Saya menjadi penopang ekonomi keluarga setelah bapaknya si Ani yang bekerja di Surabaya, bermasalah dengan pak Polisi, hingga akhirnya suami saya dipenjara.

Saya tidak begitu tahu kenapa suami saya sampai dipenjara. Kabar dari Tono, teman kerja suami saya yang pulang lebih dahulu, bapaknya si Ani kena razia KTP. Lain lagi dengan pengakuan si Saipul. Ia mengatakan jika suami saya ditangkap karena ikut campur tangan mencuri pakaian di pasar Turi.

Saya sadar, saya tidak boleh larut terlalu lama dengan kondisi yang sedang menimpa suami saya. Untuk saat ini, saya harus bisa menghidupi keluarga saya sendirian. Ani yang baru naik ke kelas empat, membutuhkan peralatan sekolah yang baru, seperti buku dan pensil. Awalnya saya tidak begitu keberatan jika hanya menanggung kebutuhan buku dan pensil saja.

Tetapi beban saya menjadi berlipat-lipat beratnya, setelah Ani memohon untuk dibelikan sepeda. Saya tidak habis pikir, apakah anakku yang sudah ditinggal pergi kakaknya sejak masih balita ini, tidak tahu jika uang yang saya punya hanya pas buat makan sehari-hari. Itu pun dengan menu yang sangat sederhana. Kalau tidak tahu, ya tempe. Itulah menu protein keseharian keluarga saya.

Namun saya merasa sangat bersalah. Anak saya yang seharusnya tidak perlu memikirkan yang lain kecuali belajar di sekolah dan di rumah, kali ini harus menyisihkan pikirannya untuk merayu saya supaya lekas dibelikan sepeda.

Saya tidak kuat lagi. Satu minggu berturut-turut Ani merèngèk untuk segera dibelikan sepeda. Tuntutan Ani sebenarnya sudah agak mengendur. Jika awalnya meminta sepeda yang baru, akhirnya menuntut pokoknya sepeda. Tetapi yang namanya sepeda pasti harganya di atas seratus ribu. Saya harus kerja apalagi untuk mendapatkan uang sebesar itu, apalagi dalam waktu yang singkat.

Seharian saya berpikir. Akhirnya saya temukan cara mendapatkan uang. Cara ini adalah cara yang terbaik dari yang paling buruk. Saya harus meminjam uang. Itulah jalan yang berkali-kali terbesit di otak saya. Saya tidak sampai berpikir nantinya harus bagaimana untuk mengembalikan uang itu. Yang penting saya harus dapatkan uang dulu.

Akhirnya saya pinjam ke pak Andi. Orang yang selama ini menerima saya sebagai pekerja kebersihan di rumahnya. Gajian masih jauh, tetapi saya beranikan diri untuk meminjam uang kepada pak Andi, dengan alasan untuk membelikan anak saya sepeda. Tidak lama, sehari setelah saya memohon pinjaman uang, akhirnya pak Andi meminjami uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah.

Saya sadar jika uang yang dipinjamkan ke saya itu besar. Jadi saya tidak masalah ketika pak Andi memberi tenggat waktu pelunasan selama satu bulan. Tanpa pikir panjang saya terima persyaratan dari pak Andi itu.

Akhirnya saya mengerti, jika satu bulan itu bukan waktu yang lama, apalagi untuk dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Satu sisi saya bahagia sekali memandang keceriaan di wajah Ani setiap berangkat sekolah. Di sisi lain saya terus kepikiran bagaimana mendapatkan uang untuk melunasi hutang ke pak Andi.

Saat yang saya takutkan tiba. Pagi hari saat saya baru mesuk ke kamar mandi untuk segera mencuci baju keluarga pak Andi, majikan saya memasang muka sangar dan menghampiri saya. "Sekarang sudah satu bulan, jadi segera kembalikan uang yang kamu pinjam dulu." Seingatku seperti itulah lontaran dari majikan saya.

Saya kelabakan dan kebingungan. Bagaimana saya bisa melunasi hutang itu. Di saku saya saja tidak ada uang sepeser pun. Saat itu juga aku dituntut untuk berpikir cepat. Akhirnya saya putuskan, gaji untuk bulan ini dan bulan depan tidak usah dibayar. Untungnya majikan saya mengiyakan permintaan saya itu.

Terpaksa saya korbankan uang untuk makan bulan depan. Biar saya pikirkan nanti saja, bagaimana cara mencukupi keseharian keluarga saya. Untuk saat ini yang penting anak saya bahagia dan saya sudah tidak mempunyai hutang pada majikan saya. Namun tetap saja, saya tidak bisa lepas dari jeratan hutang. Setelah melunasi hutang yang satu, saya hutang lagi ke yang satunya lagi. Begitu seterusnya sampai saat ini ..

Read More...

05 July 2007

AR-RUWAIYS UNDERCOVER

"CUKUP BAIK." Seperti itulah Mardiyah menggambarkan kondisi di dalam penjara Ar-Ruwais di Jeddah. Meskipun ia sempat ditelanjangi pihak penjara, guna menjalani pemeriksaan kesehatan. Tetapi itu tidak mengurangi kenyamanan ia, selama mendekam di penjara Al-Ruwaiys di Jeddah.

Di setiap kamar, disediakan kasur lengkap dengan ranjangnya. Selama 13 bulan ia mendekam di sana, Mardiyah hafal setiap sudut penjara yang semua penghuninya perempuan itu.

Penjara Ar-Ruwais, menampung sekitar 25 orang di setiap kamar yang disediakan. Kamar-kamar berjajar dan berhadapan di dalam satu aula, hingga mencapai 22 buah kamar. “Untuk aula sendiri, Ar-Ruwais mempunyai 4 daerah, yang tap-tiap daerah terdapat 6 Aula”, tambah Mardiyah. Jadi, jika rata-rata setiap kamar dihuni 25 orang, total penghuni Ar-Ruwais 13.200 orang, dari berbagai penjuru dunia.

“Yang saya tahu, mereka berasal dari, Irak, Palestina, Yunan, Somalia, Nigeria, Filiphina, Afganistan, Sudan dan Indonesia”, tutur Mardiyah tentang asal-usul teman sepenjaranya. Untuk tahanan asal Indonesia, Mardiyah menjelaskan beragam sekali kasus yang telah menyeret para BMI (Buruh Migran Indonesia, red) itu. Mulai dari pelacuran, paspor palsu, KTP palsu, sampai pembunuhan.

Ungkap Mardiyah, di dalam Ar-Ruwais terdapat 4 narapidana asal Indonesia yang terancam hukuman penggal. “Di sana ada empat orang asal Indonesia yang terancam hukuman penggal, dari Bondowoso, Madura dan yang dua lagi dari luar Jawa”, tambah Mardiyah.

Mengenai usaha pendampingan selama proses pengadilan di Arab Saudi, Mardiyah tidak mendapatkan bantuan sama sekali dari pihak KBRI. “Saya dan teman-teman, hanya didampingi seorang penerjemah dalam proses pengadilan dan juga saya tidak pernah ketemu Pemerintah Indonesia selama di penjara”, ujar Mardiah.

Ungkap Mardiyah juga, tidak hanya pemerintah Indonesia saja yang membiarkan pekerjanya menjalani proses hukum sendirian, negara-negara lain pun juga berbuat demikian.

Read More...

LAPORAN
MEDIA MASSA!