19 August 2007

Istriku, Suamiku

Cerpen oleh Hilmi


Sudah lima tahun Budi, buah cintaku dengan Sulaimah, terpisah dari ibunya. Mungkin, selama ini, perasaannya sama dengan perasaanku, kesepian.

Waktu itu, istriku meninggalkan kami berdua di saat Budi baru menginjak usia tiga tahun. Dengan alasan yang sederhana, himpitan ekonomi, istriku akhirnya memutuskan untuk mencari kerja di negeri orang.

Maklum, ketika itu, aku sudah tidak bekerja lagi di pabrik pengolahan ikan, di desa sebelah. Dalam satu bulan, tidak jelas berapa rupiah yang bisa aku kantongi. Tetapi, untuk pengeluaran keluargaku setiap bulannya sudah jelas berapa kebutuhannya.

Keluargaku dilanda ujian yang sangat berat. Entah, kami dapat lulus atau tidak menghadapi ujian ini. Setiap malam, ketanangan anakku terusik oleh omelan-omelan Sulaimah kepadaku. Bagaimana besok? Beras tinggal sedikit, atap rumah banyak yang bocor. Itulah sepenggal permintaan yang masih melekat di ingatanku.

Jika boleh jujur, aku sudah berusaha mencari mata pencaharian yang mampu menghasilkan uang untuk keluargaku. Namun tetap saja, nasib baik masih belum menyertaiku. Terhitung sudah lima desa aku telusuri, semuanya sama saja, tidak ada pekerjaan buatku.

Bisa jadi karena tidak tahan dengan kondisi seperti itu, istriku membulatkan tekadnya untuk mencari uang di luar negeri. Saat pertama kali aku mendengar istriku meminta izin bekerja di luar negeri, hatiku terpukul, terpukul sekali. Sang suami yang seharusnya menafkahi keluarga,malahan tidak bisa berbuat apa-apa.

Awalnya aku sempat melarang istriku bekerja ke luar negeri. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, aku tidak kuasa lagi untuk mencegah keinginannya.
Sekarang, Budi sudah duduk di bangku kelas 3 SD. Aku sempat meneteskan air mata, ketika membaca salah satu buku pelajaran anakku yang sudah agak kusut, karena anakku bersekolah tanpa menggunakan tas seperti kebanyakan anak-anak yang lain.

Ya, buku yang kubaca waktu itu adalah buku bahasa Indonesia. Di salah satu halaman, aku sempat membaca tulisan, Ini ibu Dani, Ibu Dani sedang pergi belanja ke pasar, Ibu Dani menyiapkan sarapan pagi untuk Dani dan ayahnya. Lengkap dengan tiga buah lukisan perempuan berambut hitam, panjang dan terurai, dengan berbagai gambar yang berbeda.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan anakku ketika ibu guru di kelas menyuruhnya membaca bersama dengan teman-temannya. Apakah ibuku seperti ini? Aku tidak bisa memastikan, tetapi pertanyaan seperti itu mungkin pernah terlintas di benak anakku.

Uang bulanan kiriman dari istriku kugunakan untuk membayar SPP anak semata-wayangku. Sisanya kusisihkan untuk ditabung. Sedangkan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, aku bekerja serabutan. Mulai dari mencuci keranjang ikan, dengan upah 50 perak tiap keranjang, sampai menjadi kuli angkut di pasar sudah kulakukan.

Setiap pagi, aku baru bisa berangkat mencari kerja setelah anakku pergi sekolah. Aku iri dengan teman-temanku, mereka keluar rumah untuk mencari nafkah sejak pagi buta. Tetapi aku bersyukur, anakku sudah mulai madiri. Aku tidak perlu lagi menyambut kepulangannya di rumah. Ia sudah bisa menyiapkan makan siangnnya sendiri tanpa bantuanku.

Saat malam tiba, di samping anakku yang tertidur lelap karena kelelahan bermain dengan teman-temannya, aku selalu berdo’a. “Ya Allah, untuk saat ini aku tidak bisa menjaga istriku, aku titipkan ia kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu lindungilah ia, ya Allah.”

Sempat suatu ketika, terbesit sebuah pertanyaan dalam lamunanku. Untuk saat ini, siapakah yang menjadi kepala keluarga di keluargaku, aku ataukah istriku? Jika istriku yang menjadi kepala keluarga, lalu pantaskah aku dipanggil Bapak oleh Budi.

Sampai sekarang, hanya dengan kesabaranlah aku tetap tegar mempertahankan keutuhan keluargaku. Hanya dengan kata sederhana yang terdiri dari lima huruf itu, aku masih bisa menegakkan kepalaku, menatap hari esok yang aku yakini tidak selamanya kelam. Secercah sinar terang, masih sangat mungkin sekali aku raih.

Read More...

05 August 2007

Kesulitan Ekonomi, Gaji Ditahan

Ambulu, (5/8) -- NASIB kurang beruntung menimpa Kunainah (29), mantan TKI asal Desa Watukebo, Kecamatan Ambulu, Jember. Pasalnya, setelah satu tahun bekerja di majikan baru, di daerah Sapta Alayah, gaji ibu dua orang anak ini tertahan di tangan majikannya.
Wanita yang akrab dipanggil Kun itu menjelaskan, uang yang masih dipegang majikannya sebesar 8.000 real. “Saat itu 1 real sama dengan 2.500 Rupiah, jadi jika dihitung, gaji saya yang masih ada di sana sebesar 20.000.000 Rupiah”, papar Kunainah.
Majikan pria Kunainah, yang bekerja sebagai sipir di sebuah tahanan dan yang perempuan bekerja sebagai wakil kepala sekolah, tidak bisa memberikan sisa gaji karena terbelit kesulitan ekonomi.
“Kemarin, saya sudah menghubungi majikan, katanya minggu depan ia akan mengirimkan sisa gaji saya,” tambah Kunainah, terkait ketakjelasan gajinya.
Kunainah baru lima hari di rumah, setelah ia bekerja di Arab Saudi selama empat tahun. Dalam kurun waktu itu, ia sekali pindah majikan. “Karena majikan yang pertama melanjutkan sekolahnya ke Amerika, saya pindah ke majikan yang baru,” ungkap Kunainah. (tell)

Read More...

Alumni Ar-Ruwais Pulang Kampung

Tempurejo (5/08) -- WARGA Jatirejo, Kecamatan Tempurejo, Ambulu, digemparkan oleh kepulangan Satimah, TKI yang sudah bekerja selama tujuh tahun di Arab Saudi, Jumat (27/7). Satimah tiba di kampung halamannya, setelah menjalani masa hukuman selama sembilan bulan di penjara New Al-Ruwaiys Woman Section 3 Briman K.S.A. Jeddah, Arab Saudi.

Janda dua anak ini dipenjara dengan tuduhan pembunuhan. “Saya dituduh membunuh manjikan, oleh anak majikan saya,” papar Satimah. “Memang pada waktu itu, hanya ada saya dam majikan di dalam rumah,” tambah Satimah.

Namun akhirnya, tuduhan yang diarahkan anak majikan itu tidak beralasan. Pasalnya, dari laporan dokter setempat, majikan Satimah tewas akibat kencing manis.

Ironisnya, meskipun terbukti tidak bersalah, 90 cambukan tetap mendarat di sekujur tubuh Satimah selama mendekam di penjara.

Dari pengalamannya selama di penjara, ia pernah ditempatkan di sebuah sel bawah tanah untuk menjalani interogasi dari polisi. “Di sana, saya dipaksa mengakui perbuatan saya, tetapi saya tidak bilang apa-apa, karena memang saya tidak melakukan pembunuhan itu,” kenang Satimah.

Hampir setahun hidup di penjara, Satimah menjumpai orang dari berbagai penjuru dunia. Termasuk Siti Nur Fadilah, TKI asal Bondowoso, Jawa Timur, yang diancam denda sebesar 53.000 real, karena tuduhan penusukan. (tell)

Read More...

LAPORAN
MEDIA MASSA!