08 July 2007

HUTANG UANG BAYAR SAYANG

Saya tidak tahu, apakah masih ada jalan lagi untuk melepaskan jeratan hutang yang melilit keluarga saya? Pertanyaan inilah yang selalu menggema di telinga saya. Pagi, siang, sore dan malam hari saya selalu dihantui oleh tuntutan melunasi hutang.

Permasalahannya sepele. Waktu itu anak bungsu saya, baru naik kelas, dari kelas tiga ke kelas empat SD. Entah siapa yang mengajari, tiba-tiba anak saya minta dibelikan sepeda. Alasannya cukup masuk akal, yaitu jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Dan, semua temannya yang sebelumnya berangkat bersama dengan berjalan kaki menelusuri gang-gang sempit di ujung desa, sekarang sudah beralih. Teman-teman anak saya sudah banyak yang memiliki sepeda.

Saya tidak tega memberitahu kepada anak saya, jika saya tidak punya uang sama sekali untuk membeli barang yang sifatnya menurut saya tidak begitu penting. Maklum sudah dua bulan terakhir, perekonomian keluarga ini saya topang sepenuhnya. Saya menjadi penopang ekonomi keluarga setelah bapaknya si Ani yang bekerja di Surabaya, bermasalah dengan pak Polisi, hingga akhirnya suami saya dipenjara.

Saya tidak begitu tahu kenapa suami saya sampai dipenjara. Kabar dari Tono, teman kerja suami saya yang pulang lebih dahulu, bapaknya si Ani kena razia KTP. Lain lagi dengan pengakuan si Saipul. Ia mengatakan jika suami saya ditangkap karena ikut campur tangan mencuri pakaian di pasar Turi.

Saya sadar, saya tidak boleh larut terlalu lama dengan kondisi yang sedang menimpa suami saya. Untuk saat ini, saya harus bisa menghidupi keluarga saya sendirian. Ani yang baru naik ke kelas empat, membutuhkan peralatan sekolah yang baru, seperti buku dan pensil. Awalnya saya tidak begitu keberatan jika hanya menanggung kebutuhan buku dan pensil saja.

Tetapi beban saya menjadi berlipat-lipat beratnya, setelah Ani memohon untuk dibelikan sepeda. Saya tidak habis pikir, apakah anakku yang sudah ditinggal pergi kakaknya sejak masih balita ini, tidak tahu jika uang yang saya punya hanya pas buat makan sehari-hari. Itu pun dengan menu yang sangat sederhana. Kalau tidak tahu, ya tempe. Itulah menu protein keseharian keluarga saya.

Namun saya merasa sangat bersalah. Anak saya yang seharusnya tidak perlu memikirkan yang lain kecuali belajar di sekolah dan di rumah, kali ini harus menyisihkan pikirannya untuk merayu saya supaya lekas dibelikan sepeda.

Saya tidak kuat lagi. Satu minggu berturut-turut Ani merèngèk untuk segera dibelikan sepeda. Tuntutan Ani sebenarnya sudah agak mengendur. Jika awalnya meminta sepeda yang baru, akhirnya menuntut pokoknya sepeda. Tetapi yang namanya sepeda pasti harganya di atas seratus ribu. Saya harus kerja apalagi untuk mendapatkan uang sebesar itu, apalagi dalam waktu yang singkat.

Seharian saya berpikir. Akhirnya saya temukan cara mendapatkan uang. Cara ini adalah cara yang terbaik dari yang paling buruk. Saya harus meminjam uang. Itulah jalan yang berkali-kali terbesit di otak saya. Saya tidak sampai berpikir nantinya harus bagaimana untuk mengembalikan uang itu. Yang penting saya harus dapatkan uang dulu.

Akhirnya saya pinjam ke pak Andi. Orang yang selama ini menerima saya sebagai pekerja kebersihan di rumahnya. Gajian masih jauh, tetapi saya beranikan diri untuk meminjam uang kepada pak Andi, dengan alasan untuk membelikan anak saya sepeda. Tidak lama, sehari setelah saya memohon pinjaman uang, akhirnya pak Andi meminjami uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah.

Saya sadar jika uang yang dipinjamkan ke saya itu besar. Jadi saya tidak masalah ketika pak Andi memberi tenggat waktu pelunasan selama satu bulan. Tanpa pikir panjang saya terima persyaratan dari pak Andi itu.

Akhirnya saya mengerti, jika satu bulan itu bukan waktu yang lama, apalagi untuk dapat mengumpulkan uang sebesar itu. Satu sisi saya bahagia sekali memandang keceriaan di wajah Ani setiap berangkat sekolah. Di sisi lain saya terus kepikiran bagaimana mendapatkan uang untuk melunasi hutang ke pak Andi.

Saat yang saya takutkan tiba. Pagi hari saat saya baru mesuk ke kamar mandi untuk segera mencuci baju keluarga pak Andi, majikan saya memasang muka sangar dan menghampiri saya. "Sekarang sudah satu bulan, jadi segera kembalikan uang yang kamu pinjam dulu." Seingatku seperti itulah lontaran dari majikan saya.

Saya kelabakan dan kebingungan. Bagaimana saya bisa melunasi hutang itu. Di saku saya saja tidak ada uang sepeser pun. Saat itu juga aku dituntut untuk berpikir cepat. Akhirnya saya putuskan, gaji untuk bulan ini dan bulan depan tidak usah dibayar. Untungnya majikan saya mengiyakan permintaan saya itu.

Terpaksa saya korbankan uang untuk makan bulan depan. Biar saya pikirkan nanti saja, bagaimana cara mencukupi keseharian keluarga saya. Untuk saat ini yang penting anak saya bahagia dan saya sudah tidak mempunyai hutang pada majikan saya. Namun tetap saja, saya tidak bisa lepas dari jeratan hutang. Setelah melunasi hutang yang satu, saya hutang lagi ke yang satunya lagi. Begitu seterusnya sampai saat ini ..

No comments:

LAPORAN
MEDIA MASSA!