09 July 2007

Selamatkan Mereka

Oleh (tell)
Diilhami oleh kisah nyata calon TKI yang terdampar di Medan

Beberapa bulan terakhir, aku merindukan desiran ombak dan aroma anyir dari bangkai ikan hasil tangkapan nelayan di desaku. Memang benar kata orang, tidak ada penyesalan di depan. Yang ada adalah penyesalan di kemudian hari.

Aku menyesal, karena saat aku ingin berangkat mengais rezeki di negeri orang, aku tidak minta izin kepada kedua orangtua dan keluargaku di rumah. Namun, itu semua kulakukan karena aku ingin membantu ekonomi keluarga.

Maklum, setelah melambungnya harga BBM dan diperparah lagi oleh hasil tangkapan yang tidak menentu, ekonomi kaluargaku mengalami pasang surut. Tepatnya, sering sekali surut, ketimbang pasangnya.

Waktu itu, aku berangkat menuju tanah rantau, dibantu orang yang kukenal, namanya Nasipah. Ia mengaku berasal dari Mlaten. Aku sendiri tidak tahu, Mlaten itu ada di mana. Tetapi aku tidak memedulikan hal itu. Yang kuinginkan, aku segera bekerja dan mendapatkan uang. Uang yang nantinya akan kugunakan untuk menambal surutnya ekonomi keluargaku.

Tekadku sudah bulat, sebulat bola pingpong yang kerap dimainkan kakakku bersama teman-temannya. Selama perjalanan, aku baru sadar, jika perjalanan kali ini adalah perjalanan terberatku selama ini. Aku harus meninggalkan rumah menyeberang lautan, untuk sampai di PJTKI tujuanku. PJTKI yang dikatakan Nasipah siap mengirimku ke luar negeri adalah PT Sontoloyo di Medan.

Asaku untuk mendapatkan ringit sebesar-besarnya mulai menguat saat aku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Medan. Perasaan takut serta cemas yang kubawa selama di perjalanan, mulai memudar. Diganti dengan bayang-bayang lembaran ringgit yang siap aku genggam.


Bangunan megah, dikelilingi dengan pagar yang menjulang tinggi. Itulah gambaran PT Sontoloyo jika dilihat dari depan. Sampai aku memasuki gerbang perusahaan sontoloyo itu, aku belum merasa jika aku sudah jadi korban jual beli manusia. Sebuah bisnis yang belum pernah aku kenal sebelumnya.

Aku baru sadar jika sudah menjadi barang niaga, ketika aku tahu bahwa Nasipah mendapatkan sejumlah uang setiap memberangkatkan orang, termasuk juga aku ke PT Sontoloyo. Ya.. kisaran Rp500.000. Ujung-ujungnya, impian yang aku bawa dari kampung tidak kunjung terwujud. Bahkan bisa jadi mustahil aku dapatkan.

Hari-hariku di Medan penuh dengan cerita-cerita kelam. Mulai dari cacian, pukulan sampai tamparan saban hari mendarat di sekujur tubuhku. Tetapi aku tidak sendirian menjalani penderitaan di PT Sontoloyo. Di sana, teman-temanku juga mengalami hal serupa.

Lama di sana, aku tidak betah. Siksaan yang aku terima semakin lama kian menjadi-jadi. Bahkan, nafasku sempat terhenti sebentar, ketika temanku mengatakan jika ia sudah kecolongan, awalnya aku bingung, apa yang telah hilang darinya. Ternyata temanku itu telah kecolongan keperawanannya, ya, ia habis diperkosa ajudan pemilik PT Sontoloyo.

Aku kumpulkan semua keberanianku untuk keluar dari sana. Aku minta izin sekaligus mencari teman yang berani keluar dari PT Sontoloyo. Namun, semua teman-temanku tidak ada yang berani, mereka malah bersujud di kakiku, memohon jika nantinya aku berhasil keluar, aku disuruh menyelamatkan jiwa mereka, bisa lewat polisi atau stasiun televisi. Yang penting satu keluar dulu, dan yang lainnya keluar berikutnya.

Tanpa pikir panjang, aku memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk kabur. Waktu itu, aku masih ingat, aku memanjat pohon jaran yang tumbuh di belakang rumah. Tinggi pohon itu melebihi tinggi pagar. Jadi aku tidak kesulitan untuk keluar dari pagar. Debaran jantungku meningkat dari biasanya. Aku tidak sampai berpikiran jika nantinya aku ketahuan. Bisa saja aku kehilangan nyawaku andai nanti salah satu penjaga memergokiku saat memanjat pohon jaran.

Pohon dengan diameter kira-kira setengah meter dan dibalut dengan kulit kayu yang sangat kasar membuatku beberapa kali terporosok jatuh. Biar sering jatuh, tapi inilah satu-satunya kesempatanku untuk kabur. Ketahuan mati, hidup di sana lama-lama juga akan mati. Sama-sama mati, mending aku kabur.

Jlukk…aku berhasil turun di luar pagar. Aku langsung melarikan diri, mencari orang yang bisa aku mintai pertolongan. Beberapa lama aku berlari, aku tidak menemukan seorang pun. Tapi aku sempat istirahat di sebuah masjid. Kemudian ada seorang perempuan yang melewati masjid yang kusinggahi. Ia meminta anaknya untuk mengantarku ke lembaga swadaya masyarakat yang bisa menolongku. Sesampainya di lembaga itu, aku akhirnya bisa pulang ke rumah.

Tetapi aku masih belum tenang selama beberapa temanku yang ada di dalam PT Sontoloyo itu belum keluar. Aku minta tolong kepada pihak yang berwenang untuk mengeluarkan mereka. Sudah banyak penderitaan yang mereka terima.

Itulah ceritaku ketika aku berusaha mencari uang, namun ternyata keinginan yang kubilang “mulia” tidak selamanya bermartabat di mata orang lain. Tetapi aku sangat bersyukur, desir ombak yang selama ini menemaniku, mulai dari kecil sampai dewasa, kembali aku rasakan. Serta bau anyir yang kerap dibenci orang, kembali aku rasakan.**

No comments:

LAPORAN
MEDIA MASSA!