13 July 2007

Suara Hati Ibu

Oleh Hilmi

Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk menelantarkan ibu. Ibu akan merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh tahun. Minggu depan. Namun, di tengah kebahagiaannya itu, ibu terancam tidak tinggal bersamaku lagi. Soalnya, keempat saudaraku meminta supaya aku menitipkan ibu di panti jompo yang letaknya tidak jauh dari rumahku.

Aku tidak habis pikir, kenapa saudara-saudara tua-ku mempunyai keinginan seperti itu. Apakah mereka memang ingin aku tidak terlalu repot untuk mengurusi ibu, karena aku memiliki tanggung jawab sendiri, tanggung jawab kepada keluarga. Di rumah yang lumayan besar ini, aku tinggal bersama tiga anakku, suami tercinta yang sangat membutuhkan perhatian lebih dariku, dan ibuku yang sudah membesarkanku hingga seperti sekarang ini. Mungkin, karena aku ini anak bungsu.

Memang, aku sering kelelahan, ketika aku mengurus ibu dan keluargaku secara bersamaan. Terkadang, aku juga sering tak sempat mengurus anak-anakku, ketika ibu menginginkan perhatian lebih dariku.

Akhir-akhir ini, ibu memang ingin sekali dekat denganku. Ibu sering memintaku untuk sekedar duduk di sampingnya, dan menemaminya ngobrol-ngobrol ringan. Terkadang ibu menanyakan kondisi ketiga cucunya, bagaimana sekolahnya, bagaimana kondisi kesehatannya dan bermacam-macam pertanyaan lain. Sering juga ibu menanyakan kondisi suamiku.

Suatu malam, Ibu pernah bertanya padaku, "Nak, kamu pernah merasa keberatan jika ibu tinggal di sini. Jika kamu merasa begitu, biar ibu tinggal di tempat lain saja. Ibu tidak ingin merepotkan kamu. Nak, ibu tidak ingin perhatian dan kasih sayangmu, yang seharusnya untuk keluargamu, tapi terbagi untuk merawat ibu." Mendengar ucapan ibu seperti itu hatiku miris sekali. Aku merasa sudah bersalah. Aku merasa sangat berdosa karena ibu yang sudah renta itu masih berpikir bahwa ia menjadi benalu bagi keluargaku.

Ibu sering menyanggah bila aku menyanggah perkataannya itu. "Tidak Bu. “Ibu di sini tidak membuatku repot. Ini semua kulakukan sebagai rasa terima kasihku karena ibu telah merawatku hingga menjadi seperti sekarang ini”."

Sanggahan ibu, malah membuatku semakin merasa kasihan kepada ibu, sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ibu seharusnya menikmati sisa usianya, ibu tidak perlu pusing-pusing memikirkan kondisinya.

Suatu malam, aku pernah menanyakan kepada bapaknya anak-anak. Apakah kehadiran orangtuaku yang sudah renta itu mengurangi keharmonisan rumah tangga ini? Apakah kewajibanku sebagai seorang ibu rumah tangga, yang harus merawat dan menyayangi suami dan anak-anak terlihat tidak penuh.

Dengan bijak suamiku menjawab, "Tidak bu. Kasih sayang yang aku rasakan darimu sudah lebih dari cukup, apalagi ketika aku lihat kamu begitu rajin dan tulus merawat ibu. Meskipun aku hanya sebagai menantu, aku juga mempunyai kewajiban untuk merawat ibu."

Setiap pagi, aku selalu menatap wajah ibu dari ruang belakang, kulihat mata ibu selalu mengiringi langkah ceria anak-anakku berangkat sekolah. Mungkin ibu teringat waktu aku masih kecil dulu. Tidak terasa, tetesan air mata keluar dari mataku. Air mata ini merupakan do'a kepada Tuhan.

"Tuhan, jangan terlalu cepat Engkau mengambil ibu dariku. Sisakan waktu untukku supaya bisa membalas jasa-jasanya selama ini."

Menyambut sang surya tenggelam, sayup-sayup gema takbir mulai terdengar dari berbagai penjuru desa. Di ruang makan anak-anak sedang asyik menyantap hidangan. Mereka masyuk bercanda dengan ayahnya. Sementara itu, aku tidak bisa menemani mereka makan. Karena pada waktu yang bersamaan, aku sedang membersihkan perabotan rumah untuk menyambut kakak-kakakku besok.

Tidak terasa sebulan penuh keluarga besar ini menjalani ibadah puasa. Tidak terasa pula sudah sepuluh tahun ibu tinggal bersamaku di rumah ini. Semenjak ayahku meninggal dunia sepuluh tahun silam, tidak ada lagi yang merawat ibu. Sebagai anak bungsu aku mempunyai tanggung jawab untuk merawatnya.

Setiap gema takbir berkumandang, ibu selalu duduk terdiam sendiri di teras belakang rumah. Melihat kebiasaan ibu yang seperti itu, aku merasa ada suatu hal yang disembunyikan ibu dariku. Sebenarnya setiap ibu merenung sendiri di malam Idul Fitri, ingin sekali aku mengetahui apa sebenarnya yang sedang ada dipikirkannya.

Semenjak ditinggal pergi ayah, perilaku ibu kepadaku berubah. Dulu, ibu sering berkata padaku, “"Nak, ibu lebih senang jika kamu anggap sebagai seorang teman. Ibu lebih senang jika kamu merasa bebas menceritakan sesuatu. Jadi jangan kamu pendam masalah yang sedang melandamu sendiri”."

Sekarang, meskipun ibu selalu ingin aku berada di sampingnya, aku tetap merasa ada suatu hal yang disembunyikan kepadaku.

Untuk malam Idul Fitri kali ini aku tidak ingin melihat ibu merasakan masalahnya sendirian. Aku ingin sekali membantu ibu mengatasi masalah yang dihadapi ibu. Aku berkata pada diriku sendiri, aku harus menanyakan masalah apa yang sedang ibu hadapi. Aku merasa sangat kasihan melihat kondisi ibu yang seperti itu.

“"Bu, setiap tahun aku memperhatikan ibu, kenapa setiap gema takbir berkumandang, ibu selalu duduk termenung di teras ini. Apakah ibu mempunyai masalah?”"

Aku memberanikan diri bertanya seperti itu, karena aku benar-benar tidak tahan melihat ibu selalu memikirkan sesuatu. Aku takut ini akan mempengaruhi kondisi kesehatan ibu.

"Tidak ada apa-apa, nak, aku tidak memikirkan masalah apa pun. Aku duduk di sini hanya merenungkan kondisiku yang sudah renta ini. Apa dosa-dosaku nanti akan diampuni jika aku nanti meninggal kalian semua”."

“"Jangan, jangan berkata seperti itu bu, tidak baik berkata seperti itu”."

Aku mendadak merinding mendengar jawaban ibu yang seperti itu. “

"Ibu dulu sering berkata, di antara kita tidak boleh menyembunyikan masalah masing-masing. Kita harus berbagi kan? ibu kan yang bilang begitu? Tapi kenapa sekarang ibu seperti ada yang disembunyikan dariku”." Aku mencoba memaksa ibu lagi.

“"Nak, terima kasih selama duapuluh tahun ini kamu telah merawatku. Benar setiap gema takbir berkumandang, ada suatu masalah yang mengganggu pikiran ibu. Tetapi biarlah ibu sendiri yang merasakannya. Ibu tidak ingin merepotkan kamu terus. Kamu sekarang sudah mempunyai tanggungjawab untuk mengurus keluargamu. Memang benar apa yang dikatakan saudaramu. Lebih baik ibu tinggal di panti saja, biar ibu tidak menjadi beban di keluarga ini”."

Mendengar perkataan ibu seperti itu, dengan spontan tanganku langsung memeluk hangat tubuh ibu.

“"Kenapa ibu berpikir seperti itu. Ibu jangan berpikir bahwa ibu menjadi benalu di keluarga ini. Lihatlah bu .. Selama ini anak-anakku sangat bahagia tinggal bersama neneknya. Di sini tidak ada yang merasa terbebani. Jadi aku harap ibu jangan lagi memikirkan hal ini. Jangan hiraukan perkataan kakak-kakakku. Aku ingin sekali merawat ibu, melihat ibu bahagia. Pokoknya ibu tetap tinggal di sini ya?”"

Tanpa menjawab pertanyaanku, ibu langsung mengayunkan langkah menuju ke kamarnya.

Dengan langkah yang masih tegap, aku melihat ada semangat yang besar di tengah usia senjanya.**

No comments:

LAPORAN
MEDIA MASSA!